Mereka berdua masih cemas campur heran. Menjelang matahari terbit,
perintah sang atasan mengharuskan kedua polisi itu menggantung lelaki
itu. Tapi sampai detik itu, ia masih saja menyungging senyum. Ia
seakan-akan menikmati saat-saat menegangkan itu. Ia nampak begitu rela,
begitu menerima, begitu ikhlas. Tapi senyum itu seperti menyemburatkan
kekuatan jiwa yang dahsyat.
Adalah dengan kehendak Allah itu terjadi. Senyum manis lelaki yang
sedang menghadapi tiang gantungan itu, rupanya menyusupkan hidayah Allah
dengan amat halus ke dalam hati kedua polisi itu. Mereka berdua memang
menggantung lelaki itu. Tapi, dalam pengetahuan Allah, justru saat itu
pulalah kedua polisi itu menggantung dosa-dosa masa lalunya. Mereka
berdua menyatakan taubat.
Kisah di atas dimuat dalam sebuah buku kumpulan kisah orang-orang bertaubat dan kembali ke jalan Allah, al-‘aaiduuna ilallaah.
Ada banyak peristiwa dalam dalam kehidupan kita, di mana sikap-sikap
imaniyah seperti keikhlasan, keteguhan, kebesaran jiwa dan lainnya,
terungkap dalam perilaku, atau sorot mata, atau senyum. Sikap imaniyah
itu tidak terungkap lewat kata. Sebab kata tidak selalu mewakili sikap
jiwa bagi sebagian orang yang tidak amanah. Tapi dalam perilaku, sorot
mata atau senyum, sebuah makna agung dari keyakinan keislaman kita,
terwakili.
Saat-saat kita seperti itu, sering lebih menggugah dari seribu kata yang
pernah kita ucapkan. Di situ makna yang terwakili lewat perilaku, sorot
mata atau senyum atau lainnya, bagai angin sepoi yang dijadikan Allah
sebagai kendaraan yang mengantar hidayah-Nya.
Dan keikhlasan, mungkin merupakan makna paling potensial untuk
menggugah. Keikhlasan dalam artian yang hakiki, sesungguhnya merupakan
pemahaman kita terhadap fikrah yang kita anut. Ada banyak jiwa dan hati
yang tidak tersentuh oleh gemerlap kata, lebih dari itu ia tersentuh
oleh cahaya keikhlasan jiwa. Sesungguhnya keikhlasanlah yang meniupkan
‘ruh’ kekuatan dan pesona pada kata, perilaku, sorot mata, dan senyum.
Dan keikhlasan pulalah yang menyediakan kendaraan gaib yang akan
mengantar hidayah Allah ke ruang jiwa manusia.
Kadang atsar (pengaruh) keikhlasan orang ikhlas itu tidak nampak
di depan matanya sendiri, atau semasa ia hidup. Tapi terlihat justru
setelah ia meninggal. Mungkin dengan cara begitu Allah hendak
mempertahankan keikhlasan orang tersebut. Tapi dengan cara yang sama
pula, Allah memupuk atsar keikhlasan itu. Sampai ketika atsar itu jadi
gunung, dengan cara-Nya sendiri, Allah meledakkannya.
Sayyid Quthub, lelaki yang tersenyum menuju tiang gantung itu, mungkin
tidak akan menduga kalau dengan senyumnya, Allah memberi hidayah kepada
dua orang yang justru ditugasi membunuhnya. Mungkin juga beliau sering
tersenyum semanis itu di hari-hari biasa. Namun tidak menyebabkan orang
bertaubat. Tapi ketika keikhlasan terwakili oleh senyum, dan dalam
momen-momen seperti itu, Allah memberkahinya dengan cara-Nya sendiri.
[Anis Matta]
source; www.tarbiyah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar