Senin, 17 Agustus 2015

Berkisah…., Tentang Rindu Dua permata



Jum’at pagi, 08 juli 2011, udara masih masih cukup dingin di salah satu sudut Kabupaten Kediri. Bersama seorang adik sepupuku, Za, mahasiswi UIN Malang yang sedang liburan, berdua kami menyusuri jalanan yang sedikit berkabut menuju Kampung Inggris di Pare. Menemui murid-murid SDIT Insan Permata Bojonegoro yang sedang bersemangat belajar Bahasa Inggris di sana.


Sepanjang jalan kami bercerita tentang mimpi-mimpi kami, berbagi pengalaman, dan sambil konsentrasi menyetir aku mendengarkannya berkisah tentang aktifitas kuliahnya plus se-abreg kegiatan yang diikutinya. Sejenak angan melayang pada kisah-kisah yang hampir mirip yang juga dulu kutempuhi di sebuah pulau kecil nun jauh di luar jawa sana. Saudara-saudara kami yang lain, memang sering menyampaikan kalau Rizza adalah fotokopi masa remajaku. Segala hobinya, mimpi-mimpinya dan bahkan aktifitas yang diikutinya seolah total ter-inspirasi oleh pengalaman hidupku. Ah, tapi itu mereka yang bilang lho Za. Padahal bisa saja faktor kedekatan hubungan kekerabatan kita secera genetik membuat kita memiliki banyak sekali kemiripan. Namun bagiku kita tetap berbeda, karena engkau jauh lebih istimewa.

Lama sekali kami tidak berkesempatan bertemu seperti ini, meski sesungguhnya hampir tiap hari juga kita berbagi kisah via sms maupun jejaring sosial. Bagiku berbagi kisah denganmu tak pernah ada habisnya. Selalu ada yang menarik untuk kita bahas.

Tak terlalu lama sampailah di tempat yang kami tuju, tepatnya di salah satu English Course cabangya BEC (Basic English Course). Setelah memarkir motor, kami mencari tempat yang nyaman untuk duduk sambil menunggu salah satu ustadzah SDIT Insan Permata Bojonegoro yang sedang bersiap menemui kami.

Suasana tempat kursus itu sudah cukup ramai oleh member yang bersiap menuju kelas dan beraktifitas. Kehadiran kami sedikit mengusik konsentrasi mereka, berpuluh pasang mata itu memperhatikan kami berdua. Tentu bukan karena kami menarik untuk di lihat, tapi karena aku sedang bergandengan dengan gadis yang sangat istimewa. Setelah menemukan tempat duduk yang nyaman, aku meninggalkan Za, menuju kelasnya anak-anak muridku tanpa bermaksud mengganggu konsentrasi mereka. Ingin melihat bagaimana mereka mengikuti kegiatan di sini. Ah, tapi lagi-lagi gagal saat tiba-tiba Habibah, salah satu muridku menangkap kehadiranku dari balik pintu. Dia langsung menghambur keluar dan memelukku. Sontak yang lain-pun memalingkan kepalanya kearahku dan berebut memelukku, bidadari-bidadari kecil ini memberondongku dengan banyak pertanyaan.

“ustadzah, kapan datang dari Malang?”

“ustadzah, kenapa sih berlama-lama di Malang, pokoknya nanti malam harus menginap di Boarding kami yaa!”

“ustadzah, aku sudah bisa sedikit berbicara bahasa inggris lhoh….!”

Dan masih banyak lagi pertanyaan dan cerita mengalir dari bidadari-bidadari mungil ini. Aku menanggapinya satu per satu. Namun temu kangen kami terpotong, karena tutor mereka memanggil untuk kembali bergabung dengan kelas yang akan menjalani sesi foto bersama. Mereka sedikit cemberut karena masih ada yang belum sempat kutanggapi kisahnya, dan baru mau masuk kelas setelah aku berjanji untuk menemani mereka beberapa saat di sini.

Sambil menunggu mereka yang sedang berfoto, aku kembali ke tempat dimana aku meninggalkan Za sendirian, plus karena seseorang yang kami tunggu sudah datang. Salah seorang Ustadzah pembimbing anak-anak selama mereka di Kampung Inggris.

Setelah cukup menemani anak-anak, aku dan Za meninggalkan tempat itu. Menuju tempat kursus lain, menemui sepupu kami yang lain yang juga sedang menempuh pendidikan di sini. Kampung Inggris ini, memang sudah begitu pesat perkembangannya dibandingkan 9 tahun silam, saat aku masih disini. Sekarang, hampir di setiap sudut kulihat ada English Course. Satu kata mengalir di bibir, SUbhanalloh….



Hari itu juga aku mengajak Za mengunjungi seorang wanita istimewa, sahabatku. Yang mendedikasikan diri mengabdi di Lembaga Manajemen Infaq, mbak Aris WIdya Ali. Kami menuju kantornya yang juga menjadi camp-nya Club Remaja dan Kafe curhat Remaja. Setelah hampir satu jam disana, kami kemudian berpamitan dan mencari warung untuk makan siang.

Sudah hampir jam dua siang. Sambil menunggu menu makan siang terhidang, kami berbagi kisah lagi. 

“mbak, aku pengen mempertemukanmu sama sahabatku yang dulu pernah kuceritakan itu. Main ke rumahnya yuk….!, Kata Za…

“what???, Adinda maksudmu???”, aku sedikit tersentak.
“Iya, siapa lagi?. Lagian mbak kan dulu pernah janji, kalau ada waktu luang kita ke sana”, lanjutnya.
Aku melirik jam di dinding, “ini udah jam dua lewat, Za…!”
“Gak apa-apa, ayolaaaah. Please…..!” Rajuknya…
“Tapi kita naik motor, Blitar itu masih jauh Za. Klo kita kemaleman gimana, besok pagi aja yah?” bujukku mencoba mengendurkan niatnya.

“Ndak apa-apa, ayolaah. Mbak kan udah udah janji dulu, kalau kita mau kesana berdua aja. Ini mumpung ada waktu, klo besok-besok lagi, pasti gak jadi lagi, pleaseeee!” pintanya dengan wajah memelas dan penuh harap. Aku jadi goyah, sambil menyantap makan siang yang sudah terhidang aku memikirkan cara untuk menolak keinginannya ini tanpa membuatnya kecewa.

“ya, udah. Oke, insyaAllah. Tapi kita mampir rumah dulu ya, pamitan sama Ayah dan Ibumu”, jawabku. Aku berfikir jika kami pulang dulu dan minta izin, pasti Ayah Za yangg juga adik kandung Ibuku itu tak akan mengizinkan kami pergi naik motor.

“Ndak, pokoknya kita langsung berangkat. Ntar klo kita pulang dulu, pasti gak diijinkan sama Ayah kalau Naik Motor. Ayolaaah mbak, aku pengen kita ‘mbolang’ berdua aja!” Nah, kan baru saja kutemukan cara yang kuanggap jitu, dia sudah menangkap maksudku. Yah, jalan fikiran kami memang sering sama. Percuma saja membujuknya.

Aku menangkap mimik serius di wajahnya yang penuh harap.
“Mbak, please…. Aku kangen Adinda…” pintanya terus membujukku. Aku diam saja
“Mbak….!”, lanjutnya sambil menggenggam tanganku. Aku tidak kuat lagi kalau begini.
“OK, dengan satu syarat, asal kamu yakin klo kuat ku boncengin jarak jauh. Klo gak yakin, besok aja kita berangkat”, sahutku

“OK, aku kuat. Buktinya dulu pernah naik motor juga sama mbak Yetty dari Bojonegoro ke Kediri. Waktu di SMU dulu, aku juga pernah diboncengin temen sampai ke Nganjuk, silaturrahim ke rumah guru kami”, tegasnya meyakinkanku. Aku melihat kesungguhan di wajahnya, dengan matanya yang menantang berapi-api. Sekali lagi sifat tak pantang menyerahnya yang sama denganku, sangat sama. Aku seperti sedang berhadapan dengan diriku sendiri.

“klik, treeeeengg!”, ups, tiba-tiba ponselku bersuara. Suara khas HP yang sedang sekarat bin LowBat. Pertanda daya tahan baterainya sudah sangat lemah sekali, dan sebentar lagi pasti akan mati dengan sendirinya. Posisiku semakin sulit dengan HP mati. Bagaimana aku berkomunikasi dengan kakakku dan orangtuanya Za dan mengabarkan keberadaan kami?. Kakakku dan hampir semua saudaraku disini sangat protektif, klo kami keluar pasti akan selalu di pantau via phone maupun sms untuk memastikan keadaan kami baik-baik saja.

“Jangan khawatir, Hp-ku masih full baterainya, jadi kita tetap berangkat, kan?”, haduuuh, lagi-lagi dia menangkap kegalauanku. Aku heran, aku benar-benar seperti melawan diriku sendiri, dan itu artinya, ‘tidak mungkin !’.

Menyelesaikan makan siang dengan cuci tangan. Aku membantunya mengenakan helm, memperbaiki posisi duduknya di boncengan, lalu berkonsentrasi di jalanan yang padat mencari celah untuk menyeberang.

“Kita ke POM dulu, Bensinnya menipis. Duduk yang tenang, dan pegangan yang kuat. Kita akan sedikit kencang berlari biar gak terlalu larut pulangnya!” tegasku dengan nada serius.

“Horeeeeeeee, Alhamdulillah. Siap, Boss!!!”, pekiknya kegirangan. Aku menitikkan airmata, mengharu biru. Biarlah hari ini sekali lagi menembus batas, kena marah urusan belakangan. Asal melihat Za yang penuh semangat ini bisa tersenyum bahagia berjumpa karibnya di Blitar sana. Karena dia adalah permata, bagiku….

40km/jam……….60 km/jam…….80km/jam……, stop…. Stagnant di kecepatan ini saja, aku seolah membawanya terbang ke angkasa anganku. Dan dia menepati janjinya menjadi penumpang yang baik. sesaat kemudian kami hampir sampai ke tikungan yang menuju rumah kami, dan aku menggodanya.

“kita mampir pulang dulu ya za, …..”
“Enggaaaaaak……!!!!!” pekiknya setengah berteriak sambil mempererat pegangannya di pinggangku. Pertanda dia serius. Aku tertawa kecil sambil terus berkonsetrasi, sejenak menambah dan mengurangi kecepatan di jalan raya yang tak seberapa lebar ini.

dingin menyergap, aku merapatkan jaketku dan terus melaju mengikuti rambu-rambu lalu lintas yang jelas terpampang di sepanjang jalan. Sangat membantu perjalanan kami, karena aku belum pernah berkendara sendirian ke Bitar dan biasanya tinggal duduk manis saja di kursi penumpang.

Melewati Wates, terus ke selatan hingga menembus kecamatan Ponggok Blitar, pemandangan di sepanjang perjalanan kami di dominasi oleh sawah menghampar dan nampak pucuk-pucuk perbukitan nun jauh di sana. Sesekali kami mentertawakan kekonyolan kami, hingga akhirnya sampailah kami di halaman rumah mungil yang unik.

Seorang lelaki setengah baya menyambut kami, terlihat mimik keterkejutan di wajahnya melihat kedatangan kami. Setelah di persilahkan masuk, kami duduk sejenak di ruang tamu.

“Mbak, jangan menangis ya, tahan air matanya…. !” ujar Za mengingatkanku, aku tersenyum kecil

“Oke, Boss!!!”, jawabku singkat sambil mempersiapkan hati untuk bertemu sahabatnya. Sejenak kemudian, seorang Ibu muncul menyambut kami. Setelah mencium tangan beliau, kami digiring ke sebuah kamar. Aku berjalam mendahului Za, di kamar itu seorang gadis cantik menyambut kami. Rambutnya masih acak-acakan ciri khas orang yang bangun tidur. Aku memeluknya dan mencium kedua pipinya sambil menyebutkan namaku.

“akhirnya, Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga yah Dinda. Saya Diana, kakaknya Za”…

“waaaah, jadi ini mbak Diana yaa, akhirnya ketemu juga. Gak sekedar di dunia maya!” sambutnya dengan suka cita, sejenak kemudian gentian dia menyambut Za dengan suka cita. Benar saja airmataku nyaris runtuh, saat menyaksikan DUA PERMATA ini bertemu. Persahabatan mereka sangat unik, dipertemukan oleh Allah karena kesamaan takdir. Lahir di tahun yang sama, dengan cara yang sama 19 tahun silam. Dua gadis yang sangat bersemangat, meski terlahir premature dengan fisik ‘tak sempurna’. Sejenak kami berbagi cerita berempat dengan Almira, adiknya Adinda. Sore yang heboh, Allah mempertemukan 4 orang dengan hobi yang sama, membaca, menulis, dan berkelana berburu pengetahuan bahkan meski ’hanya’ di dunia maya (internet).

Almira, adiknya Adinda menunjukkan kumpulan cerpen hasil karyanya. Sejenak aku membacanya dengan teliti, gadis yang sangat berbakat. Gantian Adinda bercerita tentang sekolah menulisnya, karyanya yang sedang dalam proses editing, sampai koleksi buku-bukunya. Kemudian dia juga berkisah tentang tawaran kerja menjadi seorang English Translator tapi masih ragu dengan kemampuanya.

“kenapa ragu?, tanyaku ingin tau…
“Aku kan masih belajar mbak, takut belum bisa menjadi penerjemah yang baik!” jawab Adinda.

Aku mengambil nafas panjang,

“Dinda, coba dengerin cerita mbak, tentang seorang penulis hebat. Namanya, Joni Ariadinata. Beliau ada di listfriend akun facebook ku, silahkan lihat kapan-kapan ya. Beliau dulu bahkan sama sekali tidak bisa menulis. Berbeda dengan engkau yang sudah berminat sejak lama. Kisah perjalanan hidupnya sangat luar biasa, mbak mendapatkan ceritanya langsung dari beliau saat mengikuti program BATRE (Basic Training for Writer) yang di gagas oleh mbak Nurul F Huda dan FLP kepulauan Riau. Dan beliau adalah salah seorang pematerinya….!”

Lalu mengalirlah ceritaku tentang sosok penulis tersebut. Adinda dan Za mendengarkannya dengan seksama. Aku sangat berharap ceritaku ini bisa menginspirasi mereka. Bahwa terkadang, sebuah mimpi terrajut dalam kondisi yang sangat tidak ideal. Tapi jika mimpi itu kuat kita genggam, kita himpun dalam doa lalu dengan kuat kita upayakan.. InsyaAllah, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak.

Sejenak kemudian aku meminta izin untuk sholat Ashar. Saat berwudhlu di kamar mandi, aku menumpahkan air mata yang sedari tadi tertahan. Lalu di musholla kecil di rumah itu aku menghimpun do’a untuk mereka, dua permata yang ENGKAU hadirkan ke dunia. Juga permata-permata lain di seluruh belahan bumi yang engkau takdirkan mirip dengan mereka.

Meski tak bisa berjalan dengan sempurna seperti orang lain, kalian tetap bisa dengan bebas mengepakkan sayap. Sepertimu Za, yg telah sukses menaklukkan Internationl Class di UIN Malang dengan IP menakjubkan. Juga tentangmu Adinda, menatap matamu seperti Dian Yang Tak Kunjung Padam. Tetaplah berkilau duhai dua permata, tebarkan bermanfaat bagi ummat. aamiin

Love U, Za n Adinda….. (dalam tangis sesenggukan) semoga masih ada ruang dan waktu untuk bertemu lagi. Kalian sangat RUARRR BIASA, karena di luar sana banyak orang yg merasa 'sempurna' tapi tak berdaya guna.

Tidak ada komentar: